“Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu. “ (Arai) – Andrea Hirata (Sang Pemimpi)
Diperlukan tempaan hebat untuk membentuk intan dari karbon; kerja keras dan ketegaran menghadapi segala tantangan menjadi harga mati. Begitulah prinsip dasar hidupku. Nilai dasar yang selalu menjadi acuanku untuk berpijak ketika aku mulai goyah dari tujuanku. Bagi orang desa dari keluarga sederhana dengan segala keterbatasan, tidak ada jalan lain selain kerja keras untuk mencapai mimpimimpi masa depan-ku.
Aku sungguh sangat beruntung mempunyai Bapak-Ibu yang selalu mencontohkan karakter kegigihan dalam setiap kegiatan mereka serta tetap tabah menghadapi kesulitan hidup yang tak henti-hentinya menjamahi kami, para wong cilik. Merekalah sumber inspirasiku. Merekalah yang selalu kubayangkan ketika hati ini sedang butuh motivasi. Merekalah teladanku!
Meletakkan Batu Pertama untuk Membangun Rumah Mimpi
Aku lahir dan menikmati masa kecilku di desa Plajan. Desa terpencil di kecamatan Pakis Aji, Kabupatan Jepara, Bumi Ibu Kartini; sekitar dua setengah jam dari Semarang. Saat aku kecil, listrik belum masuk desa ini, sehingga lampu senthir berbahan bakar minyak tanah lah yang menerangi malam-malam di desa kami. Jalan desa pun masih bermotifkan batu-batu dan tanah, aspal belum sampai ke desa yang berjarak 20 km dari kota Jepara tersebut. Tiap pagi, aku dan temanteman SD-ku harus berjalan menyusuri jalan tersebut dengan kaki telanjang, mengenakan sepatu ke sekolah belum menjadi kewajiban dalam belajar. Pun, kami juga tidak begitu mampu membeli sepatu. Yang penting kami bisa sekolah.
Aktivitas sekolah kami sangat berbeda dengan siswa di di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, atau kota-kota lain; kami lebih banyak bermain kelereng, gundu, dan kasti dibanding belajar, bahkan ketika kami sudah kelas 6. Pada waktu istirahat sering memanfaatkannya untuk menyelam menangkap ikan dengan tangan-tangan terampil mereka di bendungan (waduk) dekat sekolah kami. Yah, beginilah nasib kami di salah satu sekolah tertinggal di desa Plajan.
Nasib mulai berubah ketika aku dan dua rekanku berhasil menjuarai lomba cerdas-cermat tingkat desa. Kecil memang, tapi cukup untuk membuat kami bangga akan sekolah kami, mengalahkan 4 SD dan 1 MI (Madrasah Ibtidaiyah) lain yang lebih mapan. Kemudian aku diminta mengikuti seleksi olimpiade Matematika. Dari tingkat desa, kadin, sampai kecamatan dengan rahmat Allah dan ketulusan dukungan serta bimbingan guru-guru SD ku, aku melenggang mulus sebagai juara 1 tingkat kecamatan. Hal yang tak pernah diprediksikan oleh
Depdikbud kecamatan Mlonggo (ketika itu belum berubah menjadi kemendiknas), bahkan guru-guru di SD-ku. Kecamatan Mlonggo pun menempatkanku pada unggulan pertama pada kompetisi tingkat kabupaten karena hanya 1 wakil perlomba yang berhak maju ke tingkat provinsi. Alhamdulillah, siswa itu adalah aku, meskipun tidak bisa berbuat banyak menghadapi kejeniusan anak-anak kota dengan pendidikan yang lebih matang di perkotaan. Air mata kekalahan pun mengucur deras dari bocah lugu ini, saat aku harus menerima kekalahan ini di
asrama haji Donoyudan, Boyolali.
Laksana Bambu, Membangun Akar yang Kuat Dahulu....
Ketika lulus SD, yang ada dalam benakku hanyalah melanjutkan ke SMP Kosgoro di dekat rumah, SMP dengan kurang dari 30 siswa per-kelasnya. Bukan karena target mereka sebanyak itu, tetapi karena anak kecil di tempat kami lebih memilih untuk langsung menjadi tukang kayu dibandingkan dengan sekolah lagi. Dengan bekerja, kami akan bisa membantu orang tua kami sehingga mengurangi kepedihan mereka. Tetapi aku harus beda! Harus bisa menentukan nasibku sendiri! Tak akan kubiarkan lingkungan dan tradisi menentukan arah hidupku!
Akhirnya, aku memilih untuk mengembara keluar desa. Meminta Pak Dhe (paman) untuk mengizinkan saya tinggal di rumah beliau di Pecangaan, sehingga saya bisa sekolah di SMP N 1 Pecangaan, salah satu SMP favorit di Jepara, yang kini sudah bergelar RSBI (berstandar Internasional). Walau dengan resiko aku harus hidup jauh dari orang tua, dan dua minggu sekali baru bisa menatap senyum mereka.
Memasuki lingkungan kota, jiwa desaku merasakan keminderan yang sangat. Ditambah ada sekelompok orang yang tidak suka dengan kehadiranku, dan selalu menghardikku dengan kata-kata kasar, cacian, dan larangan untuk berteman, membuat mentalku semakin jatuh! Rasa percaya diriku pun hilang entah kemana, tak ada keberanian untuk bicara dan mencari teman, jiwa dipenuhi ketakutan dan kerendahan diri. Yang aku lakukan hanyalah belajar, belajar, dan belajar! Dari pulang sekolah sampai malam sebelum tidur, hari-hari ku hanya ditemani buku-buku sekolah atau buku bacaan dari perpustakaan sekolah; novel Empat Sekawan merupakan favoritku pada saat itu. Akan tetapi, aku boleh sangat bersyukur dari itu karena selama 9 kali pengambilan raport, aku selalu ranking 1, dan aku pun bisa lulus dengan nilai tertinggi dan satu-satunya siswa dengan nilai UAN Matematika 10.00, tiket yang membawaku untuk SMA.
Menjelang lulus SMP, pikiranku melayang kembali ke rumah ku di Plajan, memaksaku untuk mengurungkan mimpi besarku menempuh pendidikan, untuk bekerja sehingga meringankan beban orang tua dalam mencukupi kehidupan kami. Namun, guru-guru SMP saya sungguh mengagumkan! Mereka mampu menangkap mimpi dan potensiku. Empat orang guru, yang tak akan pernah kulupakan sepanjang masa, rela menghabiskan 1 hari untuk ke rumah saya dengan
naik bus, angkudes (angkutan pedesaan), dan ojek hanya untuk menyakinkan Berani Bermimpi!
kedua orang tua saya bahwa mereka akan berusaha mencarikan sekolah yang terbaik untuk saya.
Sebagai kompromi atas mimpi berpendidikan tinggi dan realita keterbatasan ekonomi kami, pikiran ku pun mengarah ke STM/SMK. Sederhana, aku hanya ingin segera berijazah SMA, yang agak tinggi rasanya bagi orang desa, kemudian bekerja. Sempat kuurungkan impian-impian tinggi laksana Ikal yang mulai tidak percaya lagi pada Arai untuk bisa kuliah di Sorbonne, Paris, di saat mereka lulus dari UI. Tapi,aku tetap nekat! Aku tidak ikut tes masuk SMK tapi malah mengikuti tes masuk di SMA kerjasama Indonesia Turki yang berada di Gunungpati, Semarang, bernama SMA Semesta Semarang. Sekolah yang mengajarkan pelajaran sains, matematika, dan komputer dalam bahasa Inggris, oleh guru-guru dari Turki.
Elang itu Mulai Terbang Menerjang Langit Luas...
Semasa SMA aku makin menjauh dari keluargaku, hanya bisa pulang sebulan atau bahkan terkadang dua bulan sekali. Namun di sinilah aku mulai berani semakin tinggi bermimpi dan memperluas horizon cakrawala pandanganku. Aku mulai mengenal bule, berkawan dengan siswa-siswa dari berbagai penjuru nusantara. mencoba ekstrakurikuler Karate, bermain bola, dan berdekatan dengan komputer. Meskipun aku belum bisa menghilangkan rasa mudah minderku.
Walau bagaimana pun aku mulai menikmati proses pertumbuhanku, serta lingkungan baru yang makin indah untuk terus bermimpi. Pada saat kelas 2, aku mulai mencoba mengikuti beberapa perlombaan, akademis maupun non akademis. Ada yang mengesankan, namun tidak sedikit yang terasa pahit. Aku pernah memegang trofi kebanggaan juara 1 lomba Matematika Berani tingkat Jateng serta tingkat kota Semarang. Aku pun juga pernah dihajar telak 8-0 tanpa balas pada Kejurnas Kumite Karate di Pekalongan.
Fase baru dalam hidup pun harus aku hadapi lagi. Untuk memenuhi mimpi besarku melihat Indonesia dari luar dan bisa menggenggam salju, aku melaui tahap demi tahapan dalam seleksi pertukaran pelajar Yasayan Bina Antarbudaya yang bekerja sama dengan AFS Amerika Serikat. Luar biasa, pada saat kenaikan kelas menuju kelas 3, aku harus berkemas meninggalkan ibu pertiwi untuk mencicipi aroma kehidupan di negeri Paman Sam. Anak desa ini akhirnya bisa melihat dunia! Tak pernah sebelumnya naik pesawat, dan sekarang harus terbang tinggi ke benua lain.
New World! Great, this is The US After All
Bulan Juli 2005, aku beserta 90-an siswa terpilih dari Indonesia, dan lebih dari 600-an siswa lain dari berbagai negara berpenduduk mayoritas muslim dikumpulkan di Hotel Hilton, Washington, D.C., untuk orientasi tentang kehidupan di Amerika Serikat. Kami juga bisa berjalan-jalan di Ibu kota AS tersebut. Itulah pertama kalinya aku berfoto di depan White House, Capitol Building, Lincoln Memorial, dan Washington Monument; tonggak penting dalam rantai sejarah perjuangan negara dengan 50 negara bagian tersebut.
Setiap pagi aku berjalan 1.5 km menuju Gaithersburg High School, sekolahku selama di Maryland, USA, sekolah yang menjadi simulasi kecil dari Amerika Serikat. Lebih dari 2000 siswa bersekolah disana, dengan berbagai ras dan warna kulit. Aku terkaget melihat fakta bahwa di daerahku jumlah orang kulit hitam, hispanik, dan kulit putih jumlahnya hampir berimbang. Juga sangat susah untuk masuk sistem pertemanan mereka karena teman bagi mereka biasanya orang yang sudah bersama sejak dari kecil. Berbeda dengan kita, mereka menganggap sangat biasa orang asing yang masuk ke negara mereka. Toh, hampir semua dari mereka juga orang asing.
Bulan-bulan pertama di AS, aku masih belum bisa berkomunikasi dengan lancar. Aku masih susah mengikuti pelajaran di sekolah, berbicara dengan kawankawan sekelas, bingung dengan jadwal sholat yang setiap hari selalu berubah, kesulitan mencari kawan muslim di sekolah, belum bisa makan makanan mereka dengan nikmat (lidah Jawa ini memang susah diberi makanan Amerika), serta belum juga bisa menghafal jadwal dan rute bus kota.
Aku mendapat single-mom host family keturunan kulit hitam, Darlene, dengan 1 anak perempuan, Adrienne, dengan host grand-parents kulit putih. Suatu fenomena yang mengajarkanku atas fenomena rasisme pada masa lalu Amerika dan betapa ini sudah mulai berubah atas jasa sosok-sosok seperti mereka yang mau mengadopsi orang dari lain ras. Ketegaran dan kegigihan mereka begitu melekat padaku; bagaimana kerasnya perjuangan mereke menghadapi ketidakadilan rasisme.
Untuk memenuhi misi kebudayaan, aku pun beberapa kali presentasi tentang Indonesia pada siswa-siswa Amerika dengan memperkenalkan budayabudaya kita seperti Batik, makanan, dan mata uang kita. Pernah juga kami mengadakan pameran kebudayaan dengan mendirikan booth/stand tentang Indonesiam, serta pada malam Internasional, aku membawakan Tari Piring.
Terheran aku ketika terkadang aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan nyeleneh dan hampir tidak masuk akal, “Orang Indonesia masih tinggal di rumah pohon ya?”, “Indonesia itu dekat Somalia kan?”, atau bahkan “Kalian masih belum pakai pakaian seperti kami, kan?” What in the world is wrong with those guys?!! Begitu pikiranku sontak menjawab. Aneh! Tapi itulah gambaran betapa sedikitnya mereka tahu tentang kita!
Waktu setahun dengan cepat berlalu dan pada bulan Juni 2006 pun aku harus kembali ke tanah air. Sebagai kenang-kenangan, host-fam ku pun mengajakku ke Manhattan, New York. Akhirnya kulihat dengan mata kepalaku sendiri Golden Bridge, Ground Zero, Time Square, hingga kami naik kapal kecil ke hadapan Patung Liberti.
Wake up! It's Time to Start A New Dream
Juli 2006, kakiku kembali menginjak bumi nusantara. Aku harus terbangun dari mimpi indahku dan kembali menghadapi segala liku kehidupan di tanah Indonesia. Masa terakhir SMA kulalui dengan agak aneh (minimal menurut sudut pandangku, saat itu). Aku harus sekelas dengan adik-adik kelasku, berusia lebih menuntutku untuk berprestasi dan bermimpi lebih tentunya. Aku pun mulai dikenal banyak orang, ibarat artis sekolah, walau jiwa desaku masih menempel di
benakku. Sangat lucu, saat orang lain bilang aku hebat, aku justru masih minder dan belum PD dengan kemampuanku. Setelah UN kami lewati, kami pun diwisuda dan kembali aku dinobatkan sebagai lulusan terbaik, melanjutkan tradisi yang sama semasa SD dan SMP.
Merantau di lain kota bukanlah hal baru bagiku, tetapi saat pindah ke Jogja terasa agak beda, orang tuaku pun tak tahu kalau aku sudah di Jogja. Bukan karena aku durhaka, tetapi aku tak ingin membuat mereka cemas dengan segala tetek mbengek masalah finansial, biarlah untuk sementara kugunakan uang tabunganku dahulu. Jogja? UGM? Dimana itu? Aku belum pernah menginjakkan kaki di bumi Sri Sultan sebelumnya. Aku melalui dua bulan pertamaku bagai ikan
yang baru dilepas ke lautan, terpukau dengan segala keadaan serta masih harus menggali sendiri pengetahuan dari lingkungan yang baru.
Aku melihat bumi perkuliahan di UGM begitu memukau mataku. Begitu banyak kesempatan untuk mengeksplor diri. Peluang untuk beraktivitas begitu beragam. “Inilah lahan bermimpiku yang baru!” Tahun pertama aku bergabung di KMTE (Keluarga Mahasiswa Teknik Elektro UGM), BEM KMFT (Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas Teknik), dan BEM KM UGM (Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM) yang mendidikku dengan lika-liku politik kampus, walau aku pun tak begitu ahli disana. Hingga aku pun pernah 3 bulan tidak nge-kos dan tinggal di sekretariat BEM KMFT. Namun, yang jelas ketiga lembaga itu menumbuhkan kesadaran moral dan sosial padaku bahwa aku hidup tidak untuk diriku saja, namun ada hak orang lain dan masyarakat pada diriku. Itulah yang mendorong aku dan teman-temanku di Departemen SosMas BEM KM UGM secara rutin membina anak-anak jalanan di Ledhok, Timoho selama hampir 2 tahun.
Tantangan perekonomian memaksaku untuk harus pandai menyesuaikan diri dengan kenyataan. Selain kuliah dan organisasi tersebut, aku pun mencoba berjualan, menjadi penerjemah freelance Inggris-Indonesia, hingga menjadi tentor privat. Semuanya hanya untuk sekedar uang penjamin hidup di Jogja dan berlatih lebih mandiri dari beasiswa orang tua. Aku yang dari kecil sampai SMA sangat fokus pada akademis, kini pun lebih membuka mata dan mencoba memaknai lidup lebih luas. Rajin mengikuti seminar kepemimpinan, kewirausahaan, TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi), sosial, jurnalistik, dan ekonomi-politik. Beberapa kali juga turut turun ke jalan menyuarakan aspirasi ketidaksetujuan pada pemerintah; salah satu yang paling ekstrim adalah pada 12 Mei 2008 bersama seluruh mahasiswa Indonesia berdemo di depan Istana Merdeka di Jakarta serta dengan segelintir mahasiswa teknik berdemo keliling jurusan mempublikasikan Tugu Rakyat yang kami usung ke Jakarta.
Semakin Berani Memupuk Mimpi
Tahun pertamaku berjalan sangat nyaman. Dua kali mendapatkan IP 4.00, mulai berkontribusi di lembaga, diterima di PPSDMS Nurul Fikri Regional III Yogyakarta, mulai nyaman dengan kehidupan kampus dan segala aktivitasku, serta yang paling penting, mulai menikmati realisasi mimpi-mimpi besar yang kumimpikan sebelumnya. Aku pun harus terus bermimpi lagi! Berani Bermimpi! Ekonomi Bukan Penghalang Prestasi Setelah aku menikmati masa 6 bulan dibina di PPSDMS Nurul Fikri, 3 semester kuliah, serta berorganisasi di BEM dan KMTE, aku pun kembali terbawa pada mimpiku: mendapat kesempatan untuk mewakili UGM dalam pertukaran
pelajar bidang TIK ke Korea Selatan selama 1 tahun di Daejeon University.
Again, Another Great Leap. It's Time for Korean Visit
“If you can dream it, you can do it.” (Walt Disney) Barangkali inilah puncak dari segala keberhasilanku di kampus, buah dari perjuangan selama 3 semester pertama di UGM, aku bisa belajar 1 tahun di salah satu pusat teknologi Asia, di Sillicon Valley-nya Korea, Kota Daejeon. Aku bisa kuliah di Korea Selatan selama 2 semester bersama 20 mahasiswa terbaik dari ASEAN, serta 2 bulan magang di UN-APCICT, lembaga training ICT milik PBB, selain juga jalan-jalan mengeksplorasi bumi Korea Selatan. Aku juga bisa mengikuti beberapa seminar internasional, berkunjung ke Kedutaan besar Indonesia dan Malaysia, mengikuti Taekwondo di Daejeon Univ, wisata budaya tradisional Korea, hingga homestay di rumah salah satu mahasiswa Daejeon University. Salah satu puncak kegiatan akademis selama di Korea terjadi ketika aku berhasil meraih Bronze Medal essay competition oleh Korea Times, mendapat GPA terbaik selama 2 semester disana, dan lulus ujian sertifikasi Java Programming.
Hal lain yang sangat berkesan bagiku adalah interaksi dengan para pekerja dan pelajar Indonesia lain di Korea Selatan. Para pekerja disana termasuk TKI dengan kehidupan yang mapan dan perlindungan tingkat tinggi. Kita (pekerja dan pelajar) bekerjasama melalui IMNIDA (Ikatan Muslimin Indonesia di Daejeon) untuk mengadakan bimbingan kelas komputer, bahasa Inggris, dan bahasa Korea bagi para pekerja. Kombinasi yang hangat.
Apa arti UGM?
Sungguh kuliah di UGM memberikan warna khas pada karakter pribadiku. Sebagai kampus kerakyatan, UGM mempunyai ciri khas jiwa kepedulian sosial yang tinggi, selain kompetensi pribadi yang unggul. Nilai inilah yang kupegang teguh selama belajar di kampus Bulaksumur ini. Dari ketika mengajar di panti asuhan semasa di BEM KMFT, atau pun belajar bersama anak-anak jalanan ketika di BEM KM UGM, hingga hidup mendalami perjuangan para pekerja di Korea Selatan. Hidup kampus kerakyatan Gadjah Mada!!!
TENTANG PENULIS
AHMAD NASIKUN adalah mahasiswa Teknologi Informasi, Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada. Pada tahun 2009, Nasikun menjabat sebagai Kepala Departemen Pengembangan Sumber
Daya Manusia BEM KM Fakultas Teknik UGM sebelum selanjutnya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar yang diselenggarakan oleh ASEAN University Network (AUN) di Daejeon University, Korea Selatan selama satu tahun akademis. Program pertukaran pelaja ini Nasikun jalankan dengan tekun dan serius yang mana kemudian memberikan hasil akademis yang sempurna dan sangat memuaskan.
Selama masa studinya di Korea Selatan tersebut, Nasikun berhasil menorehkan tinta prestasi dengan meraih juara 3 pada lomba English Essay Writing yang diselenggarakan oleh Korea Times pada tahun 2010. Selain itu, Nasikun juga memperoleh kesempatan untuk malaksanakan magang selama dua bulan (Juli – agustus 2009) di United Nations-Asia and Pacific Training Center for Information and Communication Technology for Development. Sebagai aktivitas kegiatan non-akademis, Nasikun juga menjadi sukarelawan pengajar computer bagi pegawai Indonesia di Daejeon, Korea Selatan serta menjabat sebagai Dewan Pembina IMNIDA (Ikatan Muslimin Indonesia di Daejeon). Pengalaman serta pencapaian yang telah diperolehnya membuat Nasikun berhasil memperoleh Peringkat I pada Kompetisi Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Tingkat Universitas tahun 2010.